TANGERANG = – Anggota Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia (RI) Daerah Pemilihan Jawa Barat (Jabar) Agita Nurfianti melakukan penjemputan dua orang Pekerja Migran Indonesia (PMI) bermasalah non prosedural (illegal), yang dipulangkan dari Istanbul, Turki. Penjemputan dilakukan, Rabu sore (14/5), di Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.
Kedua PMI tersebut berasal dari Indramayu, Jabar, dan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang terpaksa dipulangkan oleh Komite III DPD RI karena menghadapi sejumlah permasalahan serius di negara penempatan. Selain karena illegal, masalah yang dihadapi antara lain tidak memiliki keterampilan kerja yang memadai, tidak menguasai bahasa asing, tidak lancar dalam berkomunikasi, kurang profesional dalam menjalankan tugas, menderita penyakit, tidak betah di negara penempatan, tidak mampu beradaptasi dengan makanan dan lingkungan kerja yang ada, serta melarikan diri dari tempat kerja.
Penjemputan tersebut sebagai bentuk tindak lanjut pengawalan dan perhatian terhadap perlindungan warga negara, khususnya pekerja migran, serta implementasi tugas pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Agita menyampaikan, begitu ia mendapatkan informasi terkait adanya PMI illegal dari Jabar, dirinya langsung berkoordinasi dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jabar serta Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) untuk proses kepulangan PMI asal Indramayu itu. Setelah itu, dilakukan serah terima dan diantarkan pulang ke keluarganya.
Terkait hal tersebut, Agita menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap kondisi para PMI illegal, yang menggunakan jasa agensi illegal, terlebih lagi mereka belum siap secara kompetensi, fisik, maupun mental, namun tetap berangkat ke luar negeri.
“Kita harus menjadikan kasus ini sebagai pelajaran penting. Perlindungan terhadap PMI tidak hanya berhenti pada pengawasan penempatan, tetapi juga dimulai dari kesiapan mereka, termasuk pemilihan agensi secara legal. Jika menggunakan agensi illegal, lalu berangkat juga secara illegal, apalagi tidak memiliki keterampilan, tidak mampu berbahasa asing, dan ketidaksiapan secara mental maupun fisik membuat mereka sangat rentan menghadapi berbagai masalah di negara penempatan,” ujarnya.
Menurutnya calon PMI yang menggunakan agensi yang legal akan berangkat secara legal menggunakan dokumen-dokumen yang resmi dan akan mendapatkan program pelatihan dan pembekalan pra-penempatan. Ia mendorong pemerintah pusat dan daerah dapat bersinergi untuk lebih selektif dalam proses rekrutmen dan memastikan bahwa calon pekerja memiliki kemampuan dasar, termasuk keterampilan kerja, bahasa asing, kemampuan beradaptasi dengan budaya, dan benar-benar siap sebelum diberangkatkan.
“Kita tidak bisa lagi membiarkan warga kita berangkat ke luar negeri secara illegal tanpa bekal yang cukup. Ini bukan hanya menyangkut citra bangsa, tapi juga soal keselamatan dan martabat mereka sebagai pekerja,” tambahnya.
Ia juga menegaskan agar agensi-agensi illegal untuk dapat ditindak tegas serta meminta para PMI untuk bisa mengingatkan rekan-rekan mereka untuk tidak berangkat dari agensi illegal. Mereka juga diharapkan bisa berbagi pengalaman mereka ke rekan-rekan mereka agar tidak mengalami hal-hal yang tidak diinginkan.
Agita berharap, kepulangan kedua PMI ini diharapkan menjadi evaluasi bersama seluruh pemangku kepentingan dalam tata kelola penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Pihaknya bertekad untuk terus mengawal isu perlindungan PMI di tingkat nasional, serta mendorong kolaborasi lintas lembaga agar mereka dapat bekerja secara legal, aman, bermartabat, dan membawa kebanggaan bagi bangsa, serta kejadian serupa tidak terulang kembali.
Turut hadir pada kesempatan tersebut Wakil Ketua DPD RI Tamsil Linrung, Anggota DPD RI Komite III Dapil NTB Evi Apita Maya serta para perwakilan dari Disnakertrans Provinsi Jabar, BP3MI, dan Kantor DPD Jabar di Bandung.