Beranda Agama Kisah Raja yang Membatalkan Kenaikan Pajak karena Keberkahan Alam

Kisah Raja yang Membatalkan Kenaikan Pajak karena Keberkahan Alam

Kisah tentang seorang pemimpin bijaksana sering kali menyimpan pelajaran berharga yang mampu membuka mata dan hati, tak hanya tentang keadilan terhadap rakyatnya, tetapi juga dampaknya terhadap alam. Salah satunya adalah cerita tentang Raja Anusyarwan, seorang raja yang dikenal adil, tetapi pernah memiliki niat untuk menaikkan pajak di wilayahnya.

Imam Ghazali dalam kitabnya Tibrul Masbuk fi Nashihatil Muluk mengisahkan sebuah peristiwa menarik. Suatu hari, Raja Anusyarwan memutuskan untuk berburu di hutan. Dalam perjalanan, ia terpisah dari para pengawalnya dan merasa kehausan. Di kejauhan, ia melihat sebuah desa kecil. Dengan segera, sang raja berjalan menuju desa itu untuk meminta air minum.

Raja tiba di salah satu rumah sederhana. Gadis muda yang tinggal di sana segera mengenali raja. Dengan sigap, ia memotong sebatang tebu, memeras airnya, mencampurkannya dengan air, lalu menyajikannya dalam gelas untuk sang raja.

Saat meminum air tebu tersebut, Raja Anusyarwan merasakan sedikit gangguan. “Air ini nikmat, tetapi mengapa ada lumpur di dalamnya?” tanyanya.

Sang gadis menjawab dengan tenang, “Hamba sengaja menambahkan lumpur agar Paduka tidak meminumnya terlalu cepat. Jika Paduka yang sedang kehausan meminum air bersih sekaligus, itu bisa membahayakan.”

Jawaban cerdas gadis itu membuat Raja Anusyarwan terkesan. Ia pun bertanya, “Berapa batang tebu yang kau gunakan untuk menghasilkan air ini?”

“Cukup satu batang tebu, Paduka,” jawab gadis itu singkat.

Raja terkejut. Tanah desa ini sangat subur hingga sebatang tebu saja menghasilkan begitu banyak air. Dalam hatinya, ia berpikir bahwa kesuburan tanah ini merupakan peluang besar untuk meningkatkan pendapatan negara. Ia pun berniat menaikkan pajak di wilayah tersebut.

Namun, niat itu berubah ketika beberapa waktu kemudian, Raja Anusyarwan kembali ke desa itu. Ia mendatangi rumah yang sama dan meminta air tebu lagi. Kali ini, gadis tersebut membutuhkan waktu lebih lama untuk mempersiapkan minuman itu.

BACA JUGA  Kesempatan Emas! Pendaftaran Santri Baru Dayah Jeumala Amal Lueng Putu Tahun Ajaran 2025/2026 Segera Dibuka – Ini Syaratnya

“Kenapa kau lama sekali?” tanya Raja.

Gadis itu menjawab, “Dulu, hanya dengan satu batang tebu, air sudah cukup. Tapi kini, hamba membutuhkan tiga batang tebu untuk menghasilkan jumlah yang sama.”

Raja tertegun. “Apa yang menyebabkan perubahan ini?” tanyanya.

“Paduka,” jawab gadis itu dengan lembut, “Ketika niat penguasa terhadap rakyatnya berubah, keberkahan alam pun ikut sirna. Jika niat Paduka untuk menaikkan pajak telah menyebar, alam ini merespons dengan cara yang berbeda. Keberkahan itu kini berkurang.”

Raja Anusyarwan termenung. Ia tersadar bahwa niatnya memengaruhi harmoni alam dan kesejahteraan rakyat. Dengan hati yang lapang, ia membatalkan rencananya menaikkan pajak. Tidak hanya itu, kekagumannya pada kecerdasan dan kebijaksanaan gadis tersebut membuatnya memutuskan untuk menikahinya.

Kisah ini menjadi pelajaran penting, sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ghazali. Seorang pemimpin yang bijaksana akan membawa keberkahan bagi rakyat dan lingkungannya. Sebaliknya, niat yang tidak adil, seperti kebijakan pajak yang memberatkan, dapat merusak harmoni alam dan mengurangi keberkahan.

Kesejahteraan rakyat dan kesuburan alam adalah cerminan hati seorang pemimpin. Jika pemimpin berlaku adil dan peduli, maka seluruh elemen kehidupan akan berjalan harmonis. Namun, jika keserakahan dan kebijakan yang memberatkan menguasai hati pemimpin, alam pun seakan berbisik, “Berhentilah.”

Penulis: Mahfuz, Lc.

(Ahli Pertama – Analis Kebijakan, Kantor DPD RI Aceh – Sekretariat Jenderal DPD RI)

(Ketua Bidang Publikasi dan Dokumentasi Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT Aceh)

(Wakil Ketua Organisasi Alumni & Ex-Santri Madrasah Ulumul Qur’an (ORALEXISMUQ) Kota Langsa)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini