Beranda Opini Empat Pulau “Hilang” dari Aceh? Mari Kita Bahas dengan Kepala Dingin

Empat Pulau “Hilang” dari Aceh? Mari Kita Bahas dengan Kepala Dingin

empat pulau aceh hilang

Beberapa waktu terakhir, publik Aceh dikejutkan oleh kabar yang bikin alis terangkat: empat pulau yang dulunya masuk wilayah Aceh, kini secara resmi berpindah ke Provinsi Sumatera Utara.

Bukan pulau sembarangan. Keempatnya—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek—adalah bagian dari Kabupaten Aceh Singkil, yang selama ini dikenal dengan pesona bahari dan semangat masyarakatnya menjaga laut dan pesisir.

Lalu tiba-tiba, muncul Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menyatakan keempat pulau itu masuk administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut.

🧭 Kenapa Ini Bukan Sekadar Masalah “Peta”?

Sebagian orang mungkin berpikir, “Ah, paling cuma soal garis di peta, tinggal atur ulang saja.” Tapi tidak sesederhana itu.

Google search engine

Pulau-pulau ini bukan sekadar daratan yang dikelilingi laut. Mereka adalah identitas. Ada tugu selamat datang yang dibangun Pemerintah Aceh, ada prasasti yang diresmikan sejak 2008, bahkan ada fasilitas umum dan rumah singgah yang dibangun oleh anggaran daerah Aceh.

Dan yang lebih penting: masyarakat sekitar tumbuh dengan merasa bahwa mereka adalah bagian dari Aceh. Lalu, bagaimana rasanya jika tiba-tiba kita diberitahu, “Maaf, mulai hari ini, alamat kamu beda provinsi.”

📜 Apakah Aceh Sudah Diam?

Tidak. Bahkan Pemerintah Aceh tercatat sudah menyurati Kemendagri sebanyak enam kali sejak 2018, menyampaikan keberatan secara tertulis dan resmi. Tapi surat-surat itu seperti tenggelam di lautan birokrasi. Tidak pernah mendapat balasan tuntas.

Dokumen peta tahun 1992 pun ada. Ditandatangani oleh Gubernur Aceh dan Sumut, disaksikan langsung oleh Menteri Dalam Negeri waktu itu. Isinya jelas: pulau-pulau tersebut masuk dalam wilayah Aceh.

Jadi ketika masyarakat mempertanyakan keputusan ini, wajar. Bukan soal emosi, tapi soal fakta dan prosedur.

📌 Lalu Apa Solusinya?

Kita semua tentu ingin menyelesaikan persoalan ini tanpa ribut-ribut atau provokasi. Maka, inilah saran saya sebagai analis kebijakan:

  1. Ajukan peninjauan kembali Kepmendagri melalui mekanisme hukum.
  2. Dorong mediasi nasional yang adil antara Aceh, Sumut, dan Kemendagri.
  3. Tunjukkan data dan sejarah secara terbuka kepada publik. Transparansi adalah senjata yang paling sah.
  4. Rangkul masyarakat lokal agar tidak mudah terhasut isu-isu yang memperkeruh suasana.
  5. Bangun narasi cerdas di media sosial dan kanal komunikasi resmi. Jangan biarkan hanya satu versi yang beredar.

✨ Mari Jadi Aceh yang Elegan

Kita semua cinta Aceh. Tapi cinta itu harus diwujudkan dalam tindakan yang strategis dan santun. Tidak cukup hanya marah-marah di komentar media sosial. Kita butuh argumen, data, dan kesabaran.

Kalau hari ini kita bisa menyuarakan kebenaran dengan kepala dingin dan hati terbuka, siapa tahu bukan hanya empat pulau yang kembali, tapi juga kepercayaan masyarakat bahwa pemerintah daerah bisa benar-benar jadi pelindung hak mereka.

🔖 Karena dalam setiap garis batas, ada sejarah. Dan dalam setiap sejarah, ada kehormatan yang perlu dijaga.

Oleh: [Mahfuz, Lc.]
(Ahli Pertama – Analis Kebijakan, Kantor DPD RI Aceh – Sekretariat Jenderal DPD RI)(Ketua Bidang Publikasi dan Dokumentasi Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT Aceh)
(Wakil Ketua Organisasi Alumni & Ex-Santri Madrasah Ulumul Qur’an (ORALEXISMUQ) Kota Langsa)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini