RUANGWARTA, BIREUEN – Setelah enam bulan terjebak dalam eksploitasi kerja paksa oleh sindikat internasional di Myanmar, dua pemuda asal Bireuen, Aceh, yakni Uzair (20) dan Iqbal (21), akhirnya berhasil kembali ke tanah air. Kepulangan mereka merupakan hasil perjuangan panjang dan intensif yang dikawal langsung oleh Senator asal Aceh, Darwati A Gani.
Uzair dan Iqbal meninggalkan Indonesia pada Oktober 2024 setelah menerima tawaran pekerjaan dari seorang kenalan di Bireuen. Mereka dijanjikan akan bekerja di restoran dan toko kelontong di Malaysia atau Thailand. Namun, mimpi mereka berubah menjadi mimpi buruk ketika justru dikurung dan dipaksa bekerja dalam industri penipuan serta judi online di Myawadi, wilayah konflik di Myanmar yang dikenal sebagai zona merah karena keberadaan kelompok bersenjata.
Setelah beberapa waktu, keduanya berhasil mengirimkan pesan kepada keluarga di Bireuen. Informasi tersebut langsung ditindaklanjuti oleh Senator Darwati, yang mengangkat kasus ini melalui jalur diplomatik dan membawanya ke forum resmi dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.
“Banyak tantangan yang kami hadapi, terutama karena situasi keamanan di Myanmar yang sangat tidak stabil. Namun dengan kerja keras lintas lembaga dan dukungan dari banyak pihak, akhirnya Uzair dan Iqbal berhasil dibebaskan,” ujar Senator Darwati.
Keduanya tiba di Jakarta pada 12 April 2025 bersama delapan korban lainnya. Mereka diterbangkan dengan bantuan tim Search and Rescue (SAR) dan langsung mendapatkan penanganan di Shelter BP2MI Jakarta. Kondisi fisik mereka lemah akibat kekurangan nutrisi, namun secara mental keduanya tetap kuat dan tabah.
“Atas nama rakyat Aceh, saya menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Kementerian Luar Negeri, BP2MI, Polda Aceh, Yayasan Sambinoe, hingga para sukarelawan di lapangan, baik di dalam maupun luar negeri. Ini kerja kemanusiaan yang luar biasa,” kata Darwati saat mengunjungi mereka di shelter.
Ketua Yayasan Sambinoe, dr Teguh Agam Meutuah, menyebut bahwa pemulangan korban dari Myanmar merupakan salah satu yang paling sulit.
“Uzair dan Iqbal berada di zona konflik bersenjata. Proses evakuasi mereka penuh risiko dan membutuhkan kolaborasi antara lembaga resmi dan informal lintas negara. Mereka sungguh beruntung bisa kembali dengan selamat,” ungkap dr Teguh.
Darwati A Gani juga menegaskan bahwa masih banyak anak muda Indonesia yang nasibnya serupa dan belum bisa diselamatkan.
“Kita menghadapi krisis besar akibat kemiskinan, kurangnya edukasi, dan maraknya kejahatan siber lintas negara. Diperlukan regulasi yang lebih kuat, serta peran aktif dari keluarga dan masyarakat dalam memberikan edukasi dan pengawasan,” tegasnya.
Menurutnya, perlindungan terhadap warga negara tidak boleh berhenti hanya pada proses pemulangan.
“Kita harus mencegah agar anak-anak muda Indonesia tidak menjadi sasaran empuk sindikat perdagangan orang dan kejahatan digital. Ini tanggung jawab kita bersama,” pungkasnya.